Selasa, 23 November 2010

Undang-Undang Dasar Sebagian dari Hukum Dasar

 Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-undang Dsar ialah hukum dasar yang tertulis. sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum dasar yang tidak tertulis. ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
  Memang untuk menyelidiki hukum dasar  (droit constitutionnel) suatu negara, tidak hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi conshtutionnel) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (getstichen Hinfergrnnd) dari Undang-Undang Dasar itu.

Undang Undang Dasar Negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya di baca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu Negar kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
  Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang-undang itu.. 
 
Sumber Bacaan : UUD 1945

Jumat, 19 November 2010

PROFIL IWAN FALS

Foto Iwan Fals

Iwan Fals, Dewa Musik dari Leuwinanggung

Aku lahir tanggal 3 September 1961. Kata ibuku, ketika aku berumur bulanan, setiap kali mendengar suara adzan maghrib aku selalu menangis. Aku nggak tau kenapa sampai sekarang pun aku masih gambang menangis. Biar begini-begini, aku orangnya lembut dan gampang tersentuh. Sebagai contoh, menyaksikan berita di televisi yang memberitakan ada orang sukses lalu medapatkan penghargaan atas prestasinya, aku pun bisa menangis. Melihat seorang ibu yang menunjukkan cinta kasihnya pada anaknya, juga bisa membuat aku tersentuh dan lalu menangis

Bicara perjalanan karir musikku, dimulai ketika aku aktif ngamen di Bandung. Aku mulai ngamen ketika berumur 13 tahun. Waktu itu aku masih SMP. Aku belajar main gitar dari teman-teman nongkrongku. Kalau mereka main gitar aku suka memperhatikan. Tapi mau nanya malu. Suatu hari aku nekat memainkan gitar itu. Tapi malah senarnya putus. Aku dimarahi.

Sejak saat itu, gitar seperti terekam kuat dalam ingatanku. Kejadian itu begitu membekas dalam ingatanku.

Dulu aku pernah sekolah di Jeddah, Arab Saudi, di KBRI selama 8 bulan. Kebetulan di sana ada saudara orang tuaku yang nggak punya anak. Karena tinggal di negeri orang, aku merasakan sangat membutuhkan hiburan. Hiburan satu-satunya bagiku adalah gitar yang kubawa dari Indonesia. Saat itu ada dua lagu yang selalu aku mainkan, yaitu Sepasang Mata Bola dan Waiya.

Waktu pulang dari Jeddah pas musim Haji. Kalau di pesawat orang-orang pada bawa air zam-zam, aku cuma menenteng gitar kesayanganku. Dalam perjalanan dalam pesawat dari Jeddah ke Indonesia, pengetahuan gitarku bertambah. Melihat ada anak kecil bawa gitar di pesawat, membuat seorang pramugari heran. Pramugari itu lalu menghampiriku dan meminjam gitarku. Tapi begitu baru akan memainkan, pramugari itu heran. Soalnya suara gitarku fals. "Kok kayak gini steman-nya?" tanyanya. Waktu itu, meski sudah bisa sedikit-sedikit aku memang belum bisa nyetem gitar. Setelah membetulkan gitarku, pramugari itu lalu mengajariku memainkan lagu Blowing in the Wind-nya Bob Dylan.

Waktu sekolah di SMP 5 Bandung aku juga punya pengalaman menarik dengan gitar. Suatu ketika, seorang guruku menanyakan apakah ada yang bisa memainkan gitar. Meski belum begitu pintar, tapi karena ada anak perempuan yang jago memainkan gitar, aku menawarkan diri. "Gengsi dong," pikirku waktu itu. Maka jadilah aku pemain gitar di vokal grup sekolahku.
Kegandrunganku pada gitar terus berlanjut. Saat itu teman-teman mainku juga suka memainkan gitar. Biasanya mereka memainkan lagu-lagu Rolling Stones. Melihat teman-temanku jago main gitar, aku jadi iri sendiri. Aku ingin main gitar seperti mereka. Daripada nggak diterima di pergaulan, sementara aku nggak bisa memainkan lagu-lagu Rolling Stones, aku nekat memainkan laguku sendiri. Biar jelek-jelek, yang penting lagu ciptaanku sendiri, pikirku.

Untuk menarik perhatian teman-temanku, aku membuat lagu-lagu yang liriknya lucu, humor, bercanda-canda, merusak lagu orang. Mulailah teman-temanku pada ketawa mendengarkan laguku.

Setelah merasa bisa bikin lagu, apalagi bisa bikin orang tertawa, timbul keinginan untuk mencari pendengar lebih banyak. Kalau ada hajatan, kawinan, atau sunatan, aku datang untuk menyanyi. Dulu manajernya Engkos, yang tukang bengkel sepeda motor. Karena kerja di bengkel yang banyak didatangi orang, dia selalu tahu kalau ada orang yang punya hajatan.

Di SMP aku sudah merasakan betapa pengaruh musik begitu kuat. Mungkin karena aku nggak punya uang, nggak dikasih kendaraan dari orang tua untuk jalan-jalan, akhirnya perhatianku lebih banyak tercurah pada gitar. Sekolahku mulai nggak benar. Sering bolos, lalu pindah sekolah.

Aku merasakan gitar bisa menjawab kesepianku. Apalagi ketika sudah merasa bisa bikin lagu, dapat duit dari ngamen, mulailah aku sombong. Tetapi sesungguhnya semuanya itu kulakukan untuk mencari teman, agar diterima dalam pergaulan.

Suatu ketika ada orang datang ke Bandung dari Jakarta. Waktu itu aku baru sadar kalau ternyata lagu yang kuciptakan sudah terkenal di Jakarta. Maksudku sudah banyak anak muda yang memainkan laguku itu. Malah katanya ada yang mengakui lagu ciptaanku.

Sebelum orang Jakarta yang punya kenalan produser itu datang ke Bandung, aku sebetulnya sudah pernah rekaman di Radio 8 EH. Aku bikin lagu lalu diputar di radio itu. Tapi radio itu kemudian dibredel.

Setelah kedatangan orang Jakarta itu, atas anjuran teman-temanku, aku pergi ke Jakarta. Waktu itu aku masih sekolah di SMAK BPK Bandung. Sebelum ke Jakarta aku menjual sepeda motorku untuk membuat master. Aku tidak sendirian. Aku bersama teman-teman dari Bandung: Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul.

Kami lalu rekaman. Ternyata kasetnya tidak laku. Ya, sudah, aku ngamen lagi, kadang-kadang ikut festival. Setelah dapat juara di festival musik country , aku ikut festival lagu humor. Kebetulan dapat nomor. Oleh Arwah Setiawan (almarhum) lagu-lagu humorku lalu direkam, diproduseri Handoko. Nama perusahaannya ABC Records. Aku rekaman ramai-ramai, sama Pepeng (kini pembawa acara kuis Jari-jari, jadi MC, dll), Krisna, dan Nana Krip. Tapi rekaman ini pun tak begitu sukses. Tetap minoritas. Hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja, seperti anak-anak muda.

Akhirnya aku rekaman di Musica Studio. Sebelum ke Musica, aku sudah rekaman sekitar 4 sampai 5 album. Setelah rekaman di Musica itu, musikku mulai digarap lebih serius. Album Sarjana
 Muda, misalnya, musiknya ditangani Willy Soemantri.


IWAN FALS

Nama asli: Virgiawan Listanto
Nama populer: Iwan Fals
Nama panggilan: Tanto
Tempat tgl. lahir: Jakarta, 3 September 1961
Alamat sekarang: Jl. Desa Leuwinanggung No. 19 Cimanggis,
Bogor Jawa Barat - Indonesia

Kamis, 18 November 2010

Pembagian Daging Kurban yang Berakhir Ricuh

duh...
ko malah jadi kacau begini yah...
niatnya ingin mendapatkan daging qurban secara gratis..
ko malah jadi ricuh sih...

sungguh suatu ironi yang sangat tidak kita inginkan...
apakah setiap ingin mendapatkan sedekah atau daging qurban harus seperti ini???

sungguh tidak masuk akal.
seharusnya panitia pelaksana sudah bisa memastikan bahwa dampak kericuhan ini akan terjadi.
apakah para panitia tidak berkaca dari kejadian2 yang lalu...
seperti pembagian zakat pada hari raya Idul Fitri.
seharusnya penitia bisa menanggulanginya dengan cara yang lebih baik.

memang terlalu banyak dinegeri kita ini orang yang kurang mampu.
tapi apakah dengan cara seperti ini mereka harus mendapatkan daging gratis???

semoga saja kejadian saat ini bisa memberikan pelajaran bagi para panitia pembagian sedekah zakat atau daging qurban.
agar dikemudian hari kita tidak mendengar lagi berita tentang kericuhan seperti ini. Amin

Solusi Mengatasi Pembagian Daging Kurban Yang berakhir Ricuh

Pembagian daging Qurban di Tegal ricuh, begitu pula pembagian daging qurban ditempat-tempat lainnya, seperti di Mesjid Baitus Salam, Kel. Kauman Kec. Nganjuk, Masjid Raya Bandung, RSUP dr Sudono Madiun atau tempat-tempat lainnya..... Demikianlah berita yang kerap kita dengar seputar pembagian daging kurban di Indonesia....

Mengapa jadi begini? Mengapa rakyat kecil/miskin harus di'hina'kan atau meng'hina'kan dirinya untuk mendapatkan sedikit daging qurban? Bukankah mereka seharusnya menjadi tamu di hari Raya tersebut?

Friends, kali ini kami akan berbagi sedikit pengalaman dan hikmah dari ritual pemotongan dan pembagian daging Qurban yang kami lakukan saat Idul Adha kemarin....

Sudah tradisi di keluarga suami, pemotongan hewan qurban dilakukan sendiri di rumah bersama-sama keluarga besar...
Kedengarannya menyeramkan ya???
Yah... begitulah kira-kira pandangan saya ketika pertama kali mengalaminya...

Tapi taukah friends, ternyata banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat kita ambil dari tradisi tersebut...

Diawali dari pemilihan hewan qurban, kami dianjurkan untuk turun langsung melihat dan memeriksa kesehatan hewan yang akan kami potong. Mau tidak mau, ilmu mengenai hewan layak qurbanpun harus kami ketahui.


Kemudian untuk pemotongan hewan qurban, anak laki-laki harus belajar tahap-demi tahap prosesi pemotongan hewan qurban.... Mulai dari penyebutan nama pekurban, doa yang menyertainya serta tata cara pemotongan yang terbaik menurut agama....

Lalu bagaimana dengan pembagiannya?
Ternyata Alm. Abah sangat tidak setuju dengan konsep pembagian kupon....
Menurut beliau, dengan pembagian kupon tersebut, para mustahik (orang yang berhak menerima) diposisikan di'bawah' kita. Mereka juga harus menunggu dan antre yang kadang-kadang bisa menghabiskan waktu berjam-jam... Belum lagi kalau kericuhan terjadi di antara para mustahik yang saling berebut....
Alm. Abah menyuruh anak-anak untuk membagikannya langsung ke rumah-rumah para mustahik!
Memang melelahkan...... tapi ternyata makna dari kegiatan tersebut sangat dalam...

Kantung daging Qurban yang telah diberi label dan siap diantarkan.
Ini berarti kita anak-anaknya diajarkan untuk mengenal kerabat dan tetangga/warga kita yang miskin...
QS Al Hujurat : 13 "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Sadarkah kita, di dunia yang serba modern dan cepat ini, kita semakin jarang berinteraksi dengan warga sekitar?....
Dengan mendatangi langsung para mustahik, kita menempatkan diri mereka sejajar dengan kita!... bahkan berarti kita menghormati mereka... Benar-benar tradisi yang islami....


Saudara-saudara sedang memotong-motong dan menimbang daging qurban untuk dibagikan.

Nah sekarang coba kita renungkan, seandainya... mesjid-mesjid, RT/RW ataupun instansi yang melakukan qurban mendata warganya yang miskin atau berhak ... kemudian mengantarkannya langsung ke rumah mereka... insya Allah kericuhan di atas dapat dihindarkan........

Ini juga berarti silahturrahiim antar warga baik miskin dan kaya semakin terbina dengan baik.... Insya Allah...

Senin, 08 November 2010

"JANGAN BERSEDIH TEMAN WANITA BUKAN HANYA DIA SEORANG"

janganlah bersedih jikalau engkau tahu ia telah memiliki pujaan hati
dan janganlah pula kau senang atau merasa bangga jikalau kau tahu dia hanya sendiri

ingatlah hidup tak hanya untuk memikirkan suatu hal semata apalagi jikalau hanya seorang wanita
ingat banyak hal yang mesti kau raih, banyak hal yang mesti kau miliki
oleh karenanya pikirkanlah dulu masa depan mu
persipakanlah dahulu kehidpan mu...
baik untuk kehidupanmu di masa sekarang maupun masa2 yang akan datang

pertebal kenyakinan iman mu serta tingkatkanlah  ketaqwaan terhadap agamamu
ingatlah hidup ini telah tersurat...
jadi hidup, mati, dan jodoh mu serta hal2 lain yang telah menjadi suratan dalam kehidupanmu
semuanya telah diatur oleh sang maha pengatur
semuanya telah ditentukan oleh sang maha menentukan, dan
semuanya telah ditakdirkan oleh sang maha pentakdir
Sang khalik (pencipta) kehidupan di dunia ini

jadi, ingatlah dan janganlah bersedih lagi teman

jikalau ia memang kelak nanti adalah jodohmu suatu saat pasti ia akan menjadi milikmu
namun sebaliknya jikalau ia memang bukan terlahir untukmu_ia bukanlah jodohmu
maka meski sekarang engkau telah memilikiinya,
engkau menjaga hubungan baik dengannya,
engkau menjalin tali kekerabatan yang erat dengannya,
dan kau pertahankan hubungan itu dalam waktu yang selama-lamanya
maka kelak seiring waktu yang berjalan dan suratan takdir yang telah ditentukan
kau akan berpisah dengan dirinya
meski pada waktu itu engkau masih sangat menyanyanginya,,,
menyanyanginya,,,dan
menyanyanginya,,,


Sabtu, 06 November 2010

KEADAAN HUKUM INDONESIA oleh Ancha

suatu catatan yang saya buat khusus untuk MENUMBUHKAN RASA KESADARAN HUKUM  BAGI WARGA NEGARA INDONESIA. alhamdulillah setelah 4 hari sya menulis catatan ini akhirnya pada malam ini saya dapat menerbitkannya. catatan yang saya buat ini hanya sebagai sarana latihan saya dalam menulis dan mengeluarkan aspirasi saya. semoga catatan ini dapat bermanfaat.
saran dan kritik masih sya harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
isi catatan ini saya mengambil dari beberapa referinsi buku tentang hukum.


Berbicra masalah hukum di Indonesia tidak akan pernah tuntas. Masih banyak yang harus di perbaiki dari sistem hukum di indonesia. dari sini timbul suatu pertanyaan yang datang dari masyarakat, Banyak orang mengatakan, persoalan yang melanda penegakan hukum di Indonesia, mengapa tidak pernah tuntas-tuntas? hal itu disebabkan  Karena penegak hukum dan semua elemen masyarakat tidak berani keluar dari alur tradisi yang ada, penegakkan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Bahwasanya seringkali kita bersama menyaksikan fenomena-fenomena nyata yang terjadi di masyarakat yang cukup mengganggu rasa keadilan kitasebagai insan manusia. Yakni fenomena-fenomena dalam ruang pengembanan hukum baik mulai dari pembentukan hingga penegakannya, namun yang ternyata justru dirasa mencederai rasa keadilan kita bersama, dan rasa keadilan masyarakat pada umumnya. sebagai contoh yang masih hangat di telinga kita seorang nenek yang mencuri kokei di vonis dengan pidana sedangkan sang koruptor anggodo cs sampai sekarang belum diusut dengan tuntas, kasusu bank century yang pertama-tama hangat sekarang hilang bak ditelan bumi. ada apa di sektor penegakan hukum di negeri yang kita cintaii ini?

 Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan pemerintah, Perpres, hingga Perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substantif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kitabaik ditinjau dari struktur (institusi), publik sekarang sudah tidak memiliki rasa kepercayaan lagi terhadap pemerintah mereka menganggap pemerintah hanya memberikan janji bukan bukti, mereka sudah muak dengan janji-janji pemerintah. bahkan yang lebih tragis lagi
banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yangmemiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisamengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia. Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat inipenuh dengan kebobrokan dan kebusukan, baik dilihat dari sistemnya sendiri maupun dari pelaksana sistemnya yang kemudian berpengaruh sangatkuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di Negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum.

 Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunyamemerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang ada di Negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga-lembaga Negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip check and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya,tetapi juga merupakan hak dari setiap warga Negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum di Negara kita. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat ataukeadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal.
Di sinilah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya. Sebagai warga negara yang mengemban kewajiban dan hak di negara ini, maka Saya berharap mengenai Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya inilah sampai-sampai muncul pertanyaan bahwa,"It doesn't matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk interprets the law to say".

Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.


Potensi Kepariwisataan di Muara Enim • Wisata Pedesaan dan Rekayasa Budaya: Sebuah Gagasan Oleh Kenedi Nurhan

Menjelang pergantian abad lalu, di saat jutaan orang dengan penuh harap dan cemas berdiri di tubir zaman menyambut kehadiran milenium baru, milenium kedua di awal abad ke-21, kawasan pegunungan dan hutan hujan tropis Peru di Amerika Selatan tiba-tiba jadi begitu terkenal. Para petualang dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun datang ke sana, mencari sesuatu yang lebih bersifat metafisik, yakni suatu jalan yang akan menuntun mereka menemukan kebenaran kosmis dan proses transformasi spiritual.

Adalah James Redfield lewat The Celestine Prophecy (Manuskrip Celestine) yang jadi pemicunya. The Celestine Prophecy adalah novel pertama dari trilogi kisah pencarian spiritual yang bertumpu pada keaslian alam yang digarap Redfield, sebelum ia menulis dua novel lainnya: The Tenth Insight (Wawasan Kesepuluh); dan The Secret of Shambhala: In Search of the Eleventh Insight (Rahasia Shambhala: Mencari Wawasan Kesebelas). Sejak itu, hutan hujan tropis Peru tidak saja jadi pusat perhatian mereka yang mulai bosan dengan keriuhan dunia yang serba matrialistik, tapi juga diyakini memendam "kekuatan" luar biasa, yang memberi kemungkinan bagi para pencari wawasan dan energi baru untuk memahami makna kehidupan sesungguhnya di milenium kedua ini.

Novel The Celestine Prophecy itu sendiri berkisah tentang proses pencarian Sembilan Wawasan Kehidupan. Melalui kisah penemuan manuskrip kuno dari masa 600 sebelum Masehi di pedalaman hutan dan pegunungan di Peru, pembaca diajak untuk menelusuri satu demi satu dari sembilan wawasan yang termuat dalam manuskrip, bagai mengupas lapisan bawang sebelum sampai dan menemukan intisarinya.

Berkat kepiawaian Redfield bertutur dan memberi gambaran detail tentang hutan hujan tropis di Peru, yang dipadukan dengan perjalanan spiritual tokoh-tokoh cerita rekaannya itu, rasa ingin tahu banyak orang pun muncul. Lalu, berduyun-duyunlah para petualang memasuki hutan-hutan lebat di sana, terlibat dalam apa yang disebut Redfield sebagai parabel petualangan sambil berwisata, sekaligus menikmati proses kembali ke alam dalam pengertian yang sesungguhnya.

“Ramalan” John Naisbitt dan istrinya Patricia Aburdene (Megatrends 2000) yang mengkonstantir bahwa menjelang abad ke-21 umat manusia akan lebih menitikberatkan pada dimensi spritual menemukan pembenarannya. Dalam The Celestine Prophecy, fenomena kebangkitan spritualisme baru itu ditandai romantisme untuk kembali ke alam, di mana alam dengan segala misteri yang dikandungnya dijadikan semacam wahana sekaligus titik keberangkatan dalam pencarian jatidiri.

Dalam konteks perbincangan kita hari ini, kesadaran baru semacam itu ternyata memberi dampak positif pada dunia kepariwisataan. Ada pelajaran berharga yang patut dipetik. Bahwa, daya tarik alam dan lingkungan tidak semata ditafsir dalam arti sempit: hanya berkutat pada hamparan pasir pantai yang putih, alam pengunungan yang elok, keindahan bawah laut dengan aneka jenis terumbu karang berikut keanekaragaman biota lautnya, ataupun eksotisme budaya masyarakat di satu destinasi wisata. Daya tarik alam dan lingkungan ternyata bisa didekati (baca: dijual) dari dimensi lain, yakni lewat pemaknaan baru dengan menghadirkan “cerita” berikut petualangan tokoh-tokoh parabelnya dalam merajut hubungan antarsesama manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta alam semesta.

Dalam kasus Indonesia, sebelum kemunculan novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata, rasanya nama Pulau Belitung (juga Bangka) tidak banyak dikenal orang selain sekadar pulau penghasil lada dan timah. Akan tetapi, setelah novel pertama dari tetralogi-nya Andrea Hirata [tiga buku lain: Sang Pemimpi (2007), Endesor (2007), dan Maryamah Karpov (2008)] lewat perjalanan hidup tokoh Ikal yang merepresentasikan biografi penulisnya itu sukses di pasaran, persepsi dan pandangan banyak orang terhadap Pulau Belitung ikut bergeser. Belitung ternyata tidak sekadar timah dan lada, tetapi juga ada keindahan yang selama ini seolah tersembunyi berikut “sisa peradaban timah” dengan kelas sosialnya yang pantas ditoleh dan ditengok.

Lebih-lebih setelah Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar oleh sineas Mira Lesmana, dengan judul yang sama, keindahan pantai dengan pasir putih berikut batu-batu besar yang terserak di sana tervisualisasikan lebih nyata melalui gambar hidup. Terlepas dari isi cerita novel dan film Laskar Pelangi yang lebih subtil; berbicara tentang situasi pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat setempat yang timpang saat timah lagi jaya, sejak itu Belitung makin dikenal justru berkat hamparan pantai pasir putih dan batu-batu besarnya di kawasan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Paling tidak, daya tarik pulau ini yang dihadirkan lewat novel dan film Laskar Pelangi tersebut telah menggugah minat banyak wisatawan lokal untuk berkunjung ke Belitung.

Menikmati Kopi Semendo

Fenomena kepariwisataan yang dipicu oleh kisah rekaan dalam sebuah novel, sebagaimana dua contoh kasus di atas, sesungguhnya bisa jadi semacam inspirasi untuk mengembangkan potensi kepariwisataan yang ada di Kabupaten Muara Enim. Dalam wujud yang berbeda, Muara Enim memiliki cukup banyak potensi yang bisa dikemas untuk ditawarkan sebagai daerah baru tujuan wisata di Tanah Air. Tanpa harus didahului ada buku atau film yang—disengaja atau tidak—“mempromosikan” daerah ini, tanpa mesti diawali “penciptaan” obyek-obyek baru yang berorientasi proyek, langkah ke arah itu tetap bisa dilakukan dengan memberi sedikit sentuhan dan pencitraan baru terhadap obyek-obyek wisata potensial yang sudah ada.

Memang tidak bisa dipungkiri potensi kepariwisataan yang ada di kabupaten ini sesungguhnya juga dimiliki oleh daerah-daerah lain, tetapi hal itu tidak berarti Muara Enim kehilangan daya saing dan daya tarik. Bukankah salah satu alasan utama orang mendatangi suatu obyek wisata adalah terkait faktor keunikan dan suasana baru dan berbeda yang ditawarkan? Berangkat dari kesadaran semacam ini, berarti harus ada upaya “menciptakan” keunikan itu dan bagaimana menghadirkan suasana baru yang membuat wisatawan merasa berada di lokasi yang berbeda dibandingkan daerah tujuan wisata lainnya. Di sinilah perlu sentuhan kecil melalui apa yang disebut proses rekayasa yang bersifat positif, termasuk rekayasa budaya di lingkungan daerah sasaran.

Sejarah mencatat, Muara Enim sudah sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil kopi (Semendo atau Semende), minyak dan gas bumi (Prabumulih dan Pendopo), serta batubara (Tanjung Enim). Tahun 1990, dalam suatu napak tilas menelusuri catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger, tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan kembali bekas reruntuhan candi di Bumiayu (Tanah Abang), dan kini sebagian dari reruntuhan itu sudah dipugar ulang. Muara Enim juga punya obyek wisata alam air terjun Curug Tenang di Desa Bedegung (Semendo) dan Curug Ambatan (Tanjung Agung), serta wisata arung jeram di Sungai Bedegung.

Melalui pendekatan khusus, obyek-obyek di atas bisa dijadikan tujuan wisata andalan Muara Enim melalui model pengemasan dalam satu paket menarik. Salah satu gagasan yang ditawarkan di sini adalah dengan mengawalinya sebagai bagian dari apa yang disebut wisata pedesaan. Konsep yang paling pas adalah dengan menerapkan model home-stay, rumah tinggal, yang melibatkan keikutsertaan aktif masyarakat setempat. Model ini diharapkan menghasilkan dua tujuan sekaligus: menjadikan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah tujuan wisata, sekaligus melibatkan peran serta dan atau pemberdayaan masyarakat.

Daerah Semendo yang beriklim sejuk dengan daya tarik tanaman kopi arabika-nya yang khas itu pantas dipertimbangkan sebagai pusat pengembangan (baca: percontohan) wisata pedesaan di Kabupaten Muara Enim dengan model home-stay. Menikmati istimewanya harum aroma bunga kopi di pagi dan sore hari niscaya merupakan pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan. Itu baru satu hal. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Semendo yang masih memegang teguh adat istiadat dalam keseharian mereka, termasuk adat tunggu tubang-nya, adalah nilai lebih yang bisa dihadirkan sebagai kelengkapan sajian bagi wisatawan. Melibatkan mereka dalam pembuatan barang-barang kerajinan, taruhlah seperti membuat anyam-anyaman macam berunang yang terbuat dari bambu sebagai tempat menampung kopi, juga sensasi lain yang tidak kalah menarik bagi masyarakat kosmopolitan.

Di bawah udara perbukitan yang sejuk, wisatawan bisa diajak menikmati keindahan air terjun Curug Tenang di Bedegung, atau berjalan-jalan (tracking) di jalur khusus yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan menarik wisatawan. Bekerja sama dengan PT Bukit Asam, bisa juga dirancang suatu paket kunjungan ke lokasi tambang batubara di Air Laya, Tanjung Enim, untuk memperkenalkan dari dekat sejarah dan proses penambangan “emas hitam”. Kota Tanjung Enim itu sendiri adalah monumen hidup yang bisa dijadikan obyek wisata sejarah tentang proses terbentuknya suatu kawasan berkat kehadiran aktivitas tambang.

Obyek-obyek kunjungan tadi sifatnya hanya pelengkap. Adapun sajian utama paket wisata pedesaan yang layak dikembangkan di Semendo sebagai daya tarik justru pada “penciptaan” kegiatan pelibatan wisatawan agar mereka bisa merasakan bagaimana sensasi menjadi “petani kopi”. Bukan sekadar penikmat kopi, tapi juga mengalami (walau hanya sesaat: satu-dua hari) berada di kebun kopi. Wisatawan bisa diajak menanam bibit kopi di lokasi percontohan yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan turistik; menyiangi daun dan rerantingan, serta bagaimana memperlakukan tanaman kopi, memetik buah kopi yang sudah matang, hingga diajak menjemur dan memprosesnya secara tradisional untuk dijadikan bubuk kopi yang siap diseduh dan dihidangkan.
Pada malam hari, sesudah makan malam, sembari menikmati sajian kopi khas Semendo, kesenian tradisi yang hidup dan berkembang di Kabupaten Muara Enim (tidak mesti dari Semendo) bisa ditampilkan sebagai suguhan atraktif menjelang istirahat. Waktu 2-3 hari rasanya tidak akan terasa membosankan, bahkan mungkin terlalu pendek dirasakan oleh wisatawan untuk menikmati uniknya “petualangan” singkat di Bumi Serasan Sekundang ini.

Namun, untuk mewujudkan gagasan ini tantangan terbesarnya adalah pada penyiapan sikap dan cara hidup masyarakat yang akan dijadikan daerah tujuan wisata itu sendiri. Menyiapkan lokasi dan tempat home stay tidak terlalu sulit. Pemerintah kabupaten bisa membantu mengalokasikan sedikit dana untuk membenahi rumah-rumah penduduk yang siap dijadikan rumah tinggal bagi calon wisatawan. Termasuk di dalamnya pengadaan sanitasi yang sehat serta tambahan pendidikan dan keterampilan penyediaan makanan yang higienis. Boleh juga membangun rumah-rumah khusus, tetapi jangan terkesan eksklusif, mesti merupakan bagian dari perkampungan. Persoalannya, sudah siapkah masyarakat menerima kehadiran “orang asing” dan memperlakukan para wisatawan itu sebagai bagian dari mereka, sekaligus sebagai tamu yang harus di-“open”-i? Di sinilah tugas pemerintah menunggu.

Jejak Peradaban

Sejarah tentang peradaban umat manusia selalu menarik dan menggugah minat orang untuk mengetahuinya. Tidak heran bila peninggalan sejarah dalam berbagai wujud dan dimensi kegunaannya selalu mendapat tempat dalam dunia kepariwisataan dunia. Sisa-sisa puing bangunan dari masa kejayaan Romawi misalnya, sengaja dipertahankan sebagai bagian dari “atraksi” wisata. Bukan terutama semata karena bentuknya, tapi lebih karena makna kesejarahan yang dikandungnya. Pemerintah Jerman—sekadar menyebut satu contoh kasus—bahkan sengaja membangun ulang kawasan Nikolaiviertel di jantung Kota Berlin, yang porak poranda akibat Perang Dunia II, persis aslinya hanya untuk menandai bahwa di sanalah cikal bakal kota ini ada dan bermula dengan sederet bangunan gaya Romantik dari Abad Pertengahan.

Dalam wujud yang berbeda, sejarah tentang peradaban umat manusia juga bisa ditelusuri jejak-jejaknya di wilayah Kabupaten Muara Enim. Temuan sumur minyak di wilayah Benakat (1870) dan Suban Jeriji (1901) adalah jejak awal industri minyak dan gas bumi di Tanah Air, yang harus diakui telah ikut mewarnai peradaban baru industri-kapitalis dunia. Sejak itu, satu demi satu ladang minyak baru ditemukan di wilayah ini, termasuk di daerah Talang Ubi, Pendopo, yang hingga kini masih beroperasi.

Sebagai bagian dari sejarah peradaban umat manusia, daerah-daerah temuan ladang minyak itu—terutama sumur-sumur yang sudah ditinggalkan, tidak lagi beroperasi—sesungguhnya dapat dikembangkan sebagai obyek wisata khusus. Memang butuh persiapan dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Akan tetapi, ini peluang yang mestinya bisa ditangkap. Jika dikemas dengan baik, khususnya menyangkut bagaimana menghadirkan kisah-kisah penemuan ladang-ladang minyak itu berikut bukti-bukti “arkeologis” yang masih bisa dihadirkan sebagai bagian dari sejarah peradaban bangsa, bukan tidak mungkin “potensi tidur” ini bisa menjadi bagian dari paket wisata menarik di Kabupaten Muara Enim.

Jejak peradaban yang sesungguhnya jauh lebih menakjubkan adalah temuan situs sejarah di wilayah Desa Bumi Ayu. Lebih 20 tahun lalu, dalam sebuah ekspedisi oleh tim kecil dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menapaktilasi catatan Tobrink (1864), Knapp (1902), Westenenk, Bosch, dan F Schnitger tentang tinggalan arkeologi di Sumatera Selatan, di mana penulis berkesempatan ikut di dalamnya, tim hanya menemukan sisa-sisa batu bata dan serpihan antefix (simbar) untuk bagian sudut dan tengah candi, serta sepotong kemuncak yang biasanya ditempatkan pada bagian atap candi di sebuah gundukan tanah yang di atasnya berdiri kantor kepala desa setempat (Kompas, 5 Agustus 1990). Setelah melalui serangkaian penelitian lanjutan, sebagian dari sisa-sisa reruntuhan candi bercirikan perpaduan Hindu-Budha itu kini sudah dipugar. Memang masih jauh dari sempurna. Infrastruktur pendukung yang ada pun belum memadai. Akan tetapi setidaknya tapak sejarah peradaban masa lampau tersebut sudah bisa dijadikan aset wisata budaya.

Meski belum sebanding dengan keberadaan Borobudur dan Prambanan, juga masih kalah populer daripada kompleks percandian di Muara Jambi di Provinsi Jambi, bagaimanapun, jejak peradaban di tepian Sungai Lematang ini memiliki nilai historis yang layak dikedepankan. Bukan tidak mungkin apa yang disebut-sebut sebagai perguruan tinggi Syakiyakirti—tempat ribuan mahasiswa yang ingin memperdalam ajaran agama Budha dari berbagai belahan dunia, di samping Nalanda, India—yang sangat tersohor di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu justru lokasinya adalah bekas reruntuhan temuan candi di Bumiayu tersebut. Mengingat luasnya cakupan wilayah situs candi di kawasan ini, dibarengi asumsi bahwa keberadaan kampus tempat mendidik calon-calon pemimpin spritual mestinya ada di lokasi yang tenang dan jauh dari keriuhan pusat perdagangan di ibu kota Sriwijaya (baca: Palembang), keberadaan sejumlah bangunan pendukung yang terpencar-pencar di kawasan situs ini boleh jadi adalah asrama para biksu dan pelajar yang tengah menuntut ilmu,

Dengan dukungan fakta dan bukti-bukti arkeologis, persoalannya tinggal bagaimana menempatkan hasil rekonstruksi sejarah masa silam itu dalam bingkai cerita masa kini yang menarik. Sebagai obyek wisata budaya, sesungguhnya bukan semata-mata nilai fisik bangunan sejarah itu sendiri yang menarik untuk diketahui dan dikunjungi, tetapi tidak kalah penting adalah nilai ekstrinsiknya berupa pemaknaan atas fisik bangunan. Tanpa pemaknaan atas obyek sejarah yang ingin dipromosikan, tanpa ada upaya untuk meletakkan obyek-obyek tersebut dalam pesan yang sengaja direkonstruksi dan diaktualkan dengan kondisi masa kini, maka keberadaan sisa-sisa peradaban masa lampau itu tidak ubahnya sekadar lukisan sejarah yang hampa makna kesejarahannya.

Epilog

Berangkat dari kesadaran bahwa potensi kepariwisataan di Muara Enim tidaklah terlalu istimewa, dalam arti apa yang ada di daerah ini sesungguhnya juga ada tempat lain, maka harus ada upaya untuk menghadirkan nilai lebih terhadap potensi-potensi yang dimiliki tersebut. Persoalannya adalah bagaimana menghadirkannya agar menjadi lebih menarik, unik, dan khas, sehingga layak untuk dikunjungi.

Dalam konteks ini, dua contoh kasus di awal tulisan ini menjadi relevan untuk dipikirkan lebih lanjut. Mencermati fenomena di kalangan para pelancong yang tidak semata-mata berpergian untuk mendatangi obyek-obyek wisata alam yang serba eksotik, atau mendatangi kota-kota besar tertentu untuk berbelanja aneka produksi industri kapitalistik sekadar memuaskan nafsu konsumtif mereka, tetapi di sisi lain tidak sedikit wisatawan yang lebih berorientasi untuk mencari pengalaman baru di tengah atmosfer alam kehidupan yang berbeda. Kemunculan para backpackers, yang mendatangi tempat-tempat terpencil dengan modal seadanya hanyalah salah satu contoh. Namun, tidak sedikit di antara orang-orang yang mapan juga mulai menyukai wisata petualangan hanya untuk mendapat sesuatu yang baru di luar kebiasaan wisatawan kaya pada umumnya. Bersama keluarga atau kerabat dan teman-teman sepandangan, mereka mendatangi titik-titik tujuan wisata yang tidak umum, bahkan hingga ke tempat-tempat terpencil sekalipun.

Wisata pedesaan yang dikemas dalam paket-paket kecil, seperti gambaran di atas, barangkali bisa mewadahinya. Di luar pengembangan obyek-obyek wisata yang sudah masuk dalam perencanaan selama ini, pengembangan wisata pedesaan yang berbasis masyarakat rasanya juga layak dikembangkan di Kabupaten Muara Enim. Potensi itu ada, tinggal memberi sedikit sentuhan dan tambahan infrastruktur yang memadai. Sesudahnya? Tinggal menggarap model pemasaran yang cocok untuk jenis kepariwisataan semacam ini. ®